Filosofi Dalam Perkawinan Adat Jawa

Rabu, 02 Juni 2010 06.11 Diposting oleh linda satwika

Banyaknya kasus perceraian akhir-akhir ini, terutama di lingkungan artis menimbulkan pertanyaan, mengapa begitu gampang orang bercerai? Mengapa sebuah mahligai rumah tangga begitu rapuh? Padahal banyak rumah tangga itu dibangun dengan pesta miliaran rupiah. Bahkan ada di antaranya yang memilih melangsungkan akad nikah di hadapan Ka’bah, di Kota Suci Makah Al Muqarromah, disaksikan dan didoakan oleh Kyai ternama.

Memang menjalani kehidupan rumah tangga itu tidak gampang, karena tidak ada sekolah yang mengajarkan tentang hal itu. Tapi sayang sekarang telah jarang ada yang menyadarinya, bahwa harus memiliki persiapan khusus untuk memasuki mahligai perkawinan. Lihat saja, banyak calon penganten hanya sibuk konsultasi mengenai bentuk pesta dan soal pakaian saat pesta. Jarang sekali ada yang melakukan konsultasi tentang seluk beluk perkawinan yang harus mereka jalani kelak.


Ironisnya lagi, begitu menurut Drs. H. Hari Sutopo (60 tahun), Ketua Paguyuban Pametri Budaya Jawi, sekarang banyak orang tua tidak mengerti makna perkawinan. Misalnya, meski dia menggunakan tatacara perkawinan adat jawa, tapi dia tidak mengerti makna perkawinan menurut filsafat Jawa Misalnya mengapa pakai janur, kok tidak dipakai plastik saja? Sering karena tidak mengerti, orang mengambil artinya dari sudut bahasa, “ja Annur”, sinar surga. Padahal janur itu bukan tuntunan agama Islam.

Sebenarnya janur itu kan diambil dari pucuk pohon kelapa. Nah, kelapa itu dari bahasa Sansekarta, kelape adalah suatu titik tertinggi yang mengomandoi sejumlah titik di bawahnya. Itu adalah perwujudan daripada Tuhan. Jadi maksud orang tua memasang janur itu untuk mengingatkan kepada anaknya, agar senantiasa mengingat Tuhan.

Kenapa kok memasang tebu? Orang tidak mengerti akan mengartikannya sebagai “anteping kalbu”, berat hatiya, yaitu bekerja keras. Memang bekerja keras itu bagus. Tapi bekerja terus menerus? Ini menyebabkan banyak anak pejabat bubrah. Saking getol bapaknya bekerja sampai anaknya lepas kendali. Jadi bukan itu maksud dari pemasangan tebu tersebut.

Tebu untuk manten itu adalah tebu item, namanya tebu Arjuna. Sesungguhnya dalam tebu itu ada kembang yang namanya gelagah. Bentuk gelagah ini sama dengan panahnya Arjuna, pemberian Batara Indra. Sifat panah pasopati ini hanya diperuntukkan bagi tujuan baik. Misalnya hanya untuk perang demi bangsa dan negara. Panah ini bisa berubah jadi panah api. Jadi pada waktu nikah itu, orang tua memasang tebu untuk memberi pusaka kepada sang anak, yaitu lembaga perkawinan. Kalau anak itu menghayati masalah itu, maka angel (sudah –red) orang cerai.

Kenapa pemasangan kelapa gading, bukan kelapa ijo atau kelapa hibrida? Banyak orang tidak tahu, sehingga mengartikannya dari bahasa Jawa dari kelapa gading, yaitu cengkir yang diartikan kengcangnya pikir. Nah, kalau kengcangnya pikir kerjanya main saja bagaimana? Sebenarnya arti kelapa gading itu diambil dari arti gadingnya. Kalau kita melihat gajah besar tidak ada gadingnya rasanya bingung. Mau dikatakan sebagai anak gajah, dia sudah besar, tapi mau disebut gajah kok tidak ada gadingnya. Artinya, orang tua memasang kelapa gading untuk mengingatkan kepada anak, “kamu itu saya lahirkan yang kedua. Kamu sudah pantas disebut sebagai manusia. Lepas dari ikatan saya tapi asal usulmu dari anak”.

Kenapa sekarang salon sudah maju, tapi orang nikah tetap dikasih item dan konde. Sesungguhnya, sang wanita dibentuk sebagai matahari. Si cunduk mentul itu solarnya, sinarnya, auranya. Pada detik manten laki nginjak telor, sang matahari ini turun ke bawah, manten perempuan membersihkan kaki manten laki dan sungkem. Pada detik inilah nilai tertinggi seorang laki-laki. Sebab matahari yang telat semenit saja kita sudah kacau, sekarang mau turun. (Abdurrahman)

Kalau pengertian ini diberikan kepada penganten sebelum dinikahkan, insya Alllah langgeng. Sedangkan pisang raja itu doa biar tinggi derajatnya. Padi, biar makmur hidupnya. Alang-laang, biar dijauhi dari halangan.

0 Response to "Filosofi Dalam Perkawinan Adat Jawa"

Posting Komentar